Ternyata ada 3 orang di kamar itu, satu persatu aku diperkenalkan, sementara aku sendiri tak tahu yang mana yang harus aku layani. Sepuluh menit kami berlima di kamar itu, satu persatu mereka meninggalkan kamar hingga tinggallah aku, Koh Toni dan rekanan bisnisnya yang bernama Tio, inilah tamuku yang sebenarnya.
Demikian kisahnya....
"Ly, kita ke tretes yuk" terdengar suara dari Hari dari ujung telepon pada suatu siang.
"Kapan?" jawabku antusias karena udah beberapa minggu aku nggak keluar kota, sekalian refreshing, sekalian dapat duit, berarti taripnya adalah menginap di luar kota yang besarnya bisa 2-3 kali daripada short time.
"Ntar sore kujemput ke tempat kost-mu gimana, kita berangkat rame rame" kata Hari, salah seorang langgananku yang sudah seperti seorang teman meski tak pernah melupakan bisnis.
"Rame rame?, emang dengan berapa orang?" tanyaku penasaran.
"Kita tiga orang, tapi yang satu bawa pacarnya sedangkan satunya lagi masih kosong, dia baru datang dari Jakarta nanti jam 5 sore, kalo kamu ada teman boleh juga di ajak sekalian, tapi yang bagus dong, minim kayak kamu lah, ha.. ha.. ha"
"Berarti harus lebih cantik dong, ah nggak ah, ntar aku dicuekin, lagian susah nyari orang yang lebih cantik dari aku" jawabku tak mau kalah.
"Oke deh terserah kamu aja lah, yang jelas harus cantik, sexy, tinggi, putih dan .. ah kamu tahu sendiri deh gimana maunya, ntar aku jemput jam setengah empat, ke Juanda dulu lalu langsung ke Tretes, oke?"
"Jangan setengah empat, jam limaan gitu lho" aku mencoba menawar karena jam 2 nanti aku harus melayani tamuku di Shangri La, takut waktunya terlalu mepet.
"Jangan, ntar terlambat kasihan dia menunggu kelamaan di Juanda" jawabnya.
".. setengah lima deh"
"Oke tapi carikan temanmu ya.. "
"Oke aku carikan, tapi nggak janji lho, aku kan kurang punya teman" jawabku menyanggupi.
Beberapa teman kucoba kuhubungi tapi banyak yang lagi off atau sedang ada booking-an, aku nggak mau mencari lewat GM, karena khawatir tidak tahu ceweknya dan kalau ternyata nggak cocok menjadi bebanku. Akhirnya aku menyerah, tak bisa mendapatkannya.
Kucoba menghubungi Hari untuk melapor tapi HP-nya sibuk, sementara aku harus segera berangkat ke Hotel Shangri-La, menemui tamuku yang sudah bikin appointment. Untuk sementara kulupakan Hari, masih ada waktu 3 jam sebelum Hari menjemputku, waktu yang lebih dari cukup untuk sekedar short time.
Perhatianku benar benar kucurahkan pada tamuku ini, meskipun aku belum pernah bertemu tapi karena dia adalah rekanan bisnis dari Koh Toni, tamu langgananku, yang sedang di servis, maka aku harus memberikan servis dan kepuasan padanya, supaya tamu langgananku tidak kecewa. Koh Toni menyambutku di lobby hotel, berdua kami naik ke lantai 9 menemui rekanan bisnisnya.
Ternyata ada 3 orang di kamar itu, satu persatu aku diperkenalkan, sementara aku sendiri tak tahu yang mana yang harus aku layani. Sepuluh menit kami berlima di kamar itu, satu persatu mereka meninggalkan kamar hingga tinggallah aku, Koh Toni dan rekanan bisnisnya yang bernama Tio, inilah tamuku yang sebenarnya.
"Ly, aku tinggal dulu, kamu temanin Pak Tio ya, ntar kalo udah selesai hubungi aku di lobby" kata Koh Toni seraya meninggalkan kami berdua.
Sepeninggal Koh Toni kami berbasa basi sebentar, lalu seperti biasa kamipun berpacu menembus batas mengejar nafsu menggapai kepuasan. Detail permainan tak perlu diceritakan karena ini hanyalah pembuka alur cerita, detailnya ya seperti biasa saja, tak ada yang istimewa pada diri Pak Tio. Seperti kebanyakan tamuku besar nafsu tenaga kurang, meskipun kami bermain tiga babak tapi aku tak mendapatkan orgasme darinya karena masing masing babak hanya bertahan tak lebih dari 5 menit, jadi kurang
menarik untuk diceritakan.
Kuhabiskan waktu 1,5 jam menemani Pak Tio, kutinggalkan dia sendirian dengan mengantongi beberapa ratus ribu tips. Aku langsung pulang lewat pintu samping, tak sempat kutemui Koh Toni yang katanya di Lobby, seperti biasanya dia akan mentransfer pembayaran lewat rekeningku.
Di perjalanan pulang ternyata Koh Toni meneleponku.
"Kamu udah pulang kok nggak ngomong ngomong, ada apa?" tegurnya.
"Ah nggak ada apa apa, kata Pak Tio tadi nggak usah nunggu Koh Toni, jadi aku langsung pulang aja, gimana dia puas nggak?" jawabku memancing.
"Pak Tio puas banget sama kamu, dia malah minta kamu temanin dia ntar malam, gimana?"
Aku terdiam sejenak, baru sekarang teringat ajakan Hari.
"Maaf Koh, aku nggak bisa, ntar sore mau ke Tretes sama teman teman, biasa refreshing" tolakku halus
"Refreshing mah bisa menyusul, ntar aku ajak ke Bali deh, inikan ada duitnya" dia berusaha merayuku.
"Nggak bisa Koh, ini juga bisnis" aku berusaha menolak halus.
"Sayang deh, padahal dia suka kamu lho, sampai kapan di Tretes?" masih juga dia tak mau menyerah.
"Entahlan mungkin besok malam kali baru balik"
"Ya udah kita lihat besok deh, apa dia masih mau" akhirnya dia menutup telepon.
Sesampai di tempat Kost yang hanya 15 menit dari Shangri La, kucoba menghubungi Hari, melaporkan kegagalanku mendapatkan teman tapi HP-nya selalu sibuk. Pukul 4 hari menghubungiku, dia kecewa ketika tahu aku tidak bisa mendapatkan teman untuk tamunya yang dari Jakarta.
"Wah sekarang udah nggak ada waktu untuk hunting" jawabnya pasrah.
"Kita cari aja disana, kan banyak" hiburku
"Mana mau dia dengan cewek cewek di sana, bukan seleranya" jawabnya ketus.
Aku jadi serba salah, tentu saja aku tak mau ribut menyalahkan dia karena HP-nya selalu sibuk waktu dihubungi, biarlah kesalahan ini kutanggung aja.
"Ya udah, kita lihat saja nanti, kali kali dia bisa nemukan cewek yang cocok disana, aku jemput kamu 10 menit lagi, udah dijalan nih" katanya memutus pembicaraan.
Berempat kami berangkat menjemput kedatangan Piter di Juanda, Aku dan Hari mengendarai Mercy E320 keluaran terbaru sementara Ivan dan Nenny, pacarnya, membawa BMW 520. Untunglah selama perjalanan ke Juanda Hari tidak mengungkit ungkit kegagalanku mendapatkan cewek untuk Piter. Justru Hari banyak bercerita tentang Piter, rupanya mereka adalah sahabat karib sejak sekolah di California, begitu juga dengan Ivan, mereka adalah tiga serangkai yang menjalankan bisnis keluarga mereka masing masing dan sukses. Diusia mereka yang relative muda, awal 30-an, sudah manjadi pengusaha sukses, dan bisa berfoya foya tak perlu menunggu tua. Hubungan mereka bak saudara, sepiring bahkan seranjang bersama, berbagi kesenangan dan kesusahan.
Kami tak perlu menunggu terlalu lama di Juanda, begitu Piter keluar dari pintu kedatangan, mereka langsung berpelukan dan termasuk Nenny yang memberikan ciuman di pipinya. Kedua mobil langsung meluncur ke arah Tretes, berhenti sebentar di Restorant Dewi Sri di Pandaan untuk sekedar mengganjal perut, dan tak lupa membawa bekal karena ntar malam tak perlu keluar Villa mencari makan.
Setelah melewati pasar di depan Hotel Surya mobil belok kanan menyusuri jalan kecil yang hanya cukup untuk 1 mobil, 500 M kemudian tampaklah vila yang dituju, vila milik keluarga Hari. Si penjaga Vila buru buru membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali setelah kami berada di dalam, lampu lampu yang tadi Cuma temaram sekarang terang benderang. Hari membawa kami masuk menjelajahi kamar kamar yang ada, semua ada 5 kamar dengan 2 kamar besar, kolam renang berbentuk oval tidak terlalu besar namun indah.
"Oke terserah kalian pilih kamar yang mana, yang jelas aku dan Lily ambil yang depan di sebelah kolam, Pit kamu kamar yang tempo hari kamu pakai aja biar Ivan dan Nenny bisa bulan madu di kamarnya bokap" kata Hari mengatur.
"Sip, gue sih kamar mana aja oke tapi temannya ini nih gimana?" Piter mulai menanyakan.
Aku dan Hari saling berpandangan.
"Van, kita mau hunting kamu terserah deh mau ikut apa nggak" kata Hari pada Ivan dan pacarnya.
"Nggak, disini aja, lagian ada Nenny" jawab Ivan sambil meringis dicubit pacarnya.
Bertiga kami turun menuju ke diskotik di depan Hotel Surya (namanya udah lupa tuh), beberapa cewek berdiri disitu menjajakan diri secara terselubung, beruntunglah aku tidak dalam grup itu, batinku.
Dari satu kelompok ke kelompok lain sepertinya Piter belum mendapatkan yang cocok dengan seleranya.
"Maumu yang gimana sih Van?" Tanya Hari yang sudah capek berkeliling jalan kaki karena lebih praktis daripada naik mobil.
"Ya yang kayak cewekmu itu" jawabnya ringan sambil tetap memelototi satu persatu cewek yang ada disitu.
Jarum jam menunjukkan pukul 21.00, makin banyak cewek yang datang ke diskotik, makin banyak pilihan tapi sepertinya belum ada yang sesuai dengan seleranya. Entah sudah berapa banyak jagung bakar dan bir hitam yang mereka tegak dan tak terhitung lagi batang rokok yang telah berceceran di bawah, tapi sang idaman tak juga kunjung didapat.
Mungkin karena sudah kedinginan dan pasrah atau karena terpaksa akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada salah satu gadis yang ada disitu, aku yakin dia terpaksa memilih karena sudah tidak ada pilihan lagi, daripada kedinginan sendirian, maka kamipun kembali ke Vila dengan membawa seorang gadis.
Sesampai di Villa ternyata Ivan dan Nenny sudah masuk ke kamar, sayup sayup kami dengar jeritan kenikmatan Nenny dari dalam kamar, kami hanya tersenyum berpandangan dan langsung masuk ke kamar masing masing. Hari ngomel memaki maki Piter yang terlalu banyak pilihan, sudah berapa jam waktu terbuang percuma, aku makin merasa bersalah. Sebenarnya bisa saja Hari memintaku menemani Piter, berarti mengorbankan diri sendiri, tapi itu tak dilakukannya.
"Kasihan Piter, dia mendapat cewek yang bukan seleranya" kataku pelan sambil melepas sweater dan Jins-ku.
"Emang sih, tapi itu diluar rencana" jawabnya tanpa menyinggung kesalahanku tadi siang.
"Har, aku usul nih, jangan marah ya, janji?" aku memberanikan diri, dia diam menatapku tajam, lalu menganggukkan kepala.
"Piter kan jauh jauh dari Jakarta, sedangkan kamu kan di surabaya, gimana kalo aku temanin Piter malam ini, toh kita bisa ketemu kapan saja, anytime, tapi itu terserah kamu sih" aku memberanikan diri, takut dia tersinggung, tak berani menatapnya.
Hari diam saja memandangku makin tajam, sepertinya ada gejolak di batinnya, entah mempertimbangkan entah marah.
"Lalu aku harus tidur sama cewek kampung itu?" dengan nada tinggi.
Aku diam saja sambil berpura pura sibuk melepas bra-ku, menyesal mengajukan usul. Kupeluk dia dan kucium bibirnya.
"Ya udah, lupakan usulku itu sayang" kataku sambil melepas baju dan celananya, ternyata dia sudah tidak mengenakan celana dalam.
Aku langsung berlutut di depannya, kuraih kejantanannya yang lemas, kuremas dan kukocok sambil menciuminya untuk membangkitkan gairah yang terpendam sejak tadi. Hari meremas remas rambutku ketika aku mulai mengocok dengan mulutku, penisnya yang tidak disunat dengan cepat keluar masuk menerobos bibirku, apalagi ditambah gerakan pantatnya yang seakan mempercepat kocokannya. Mulutku kewalahan menerima gerakan liarnya, tetesan air liur keluar dari celah bibirku.
Bersambung . . . . KLIK DISINI Kelanjutannya
Jangan Lewatkan Cerita Dewasa - Berbagi Ceria Dimana Saja - 1 | 2 | 3 | 4
Post a Comment